Rabu, 24 Juli 2013

“Ummati, ummati, ummati” (Ummatku, ummatku, ummatku)

“Ummati, ummati, ummati”
Seberapa besarkah cinta anda padanya?
 Waktu itu muncul secara tiba-tiba seseorang mengucapkan salam. Kemudian ia berkata, “Bolehkah saya masuk?”. Ia meminta ijin untuk masuk. Akan tetapi Fathimah binti Rasulillah tidak berkenan dirinya masuk.  Beliau tidak mengijinkan orang itu untuk masuk sambil berkata dengan lemah lembutnya, “Ma’afkan saya. Anda tidak boleh masuk ke dalam karena ayah saya kebetulan sedang sakit”. Fathimah kemudian berpaling dan menutup pintu dari dalam rumah.
 
 Fathimah kembali ke pembaringan dimana ayahnya sedang terbaring sakit. Ayahnya yang tercinta membuka matanya dan bertanya kepada Fathimah, “Siapa tadi, wahai anakku?”
 
 “Aku tidak tahu, ayah. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, ayah”, Fathimah menjawab dengan lembutnya.
 
 Kemudian Rasulullah menatap wajah puterinya itu dengan tatapan bergetar seolah-olah ia hendak mengingat-ingat setiap lekuk wajah puterinya itu. “Ketahuilah satu hal, anakku! Dialah yang akan menghilangkan semua kesenangan yang fana ini; dialah yang hendak memisahkan hubungan kekerabatan dan pertemanan di dunia ini. Dialah malaikat pencabut nyawa”, Rasulullah menjelaskan pada puterinya.
 
 Demi mendengar itu Fathimah terhenyak seolah-olah mendengarkan sebuah bom yang diledakkan di dekatnya. Tangisan Fathimah meledak. Ia menangis tersedu-sedu dan tidak pernah tangisan dirinya itu, sepilu dan sepedih itu. Rasulullah kemudian menyuruh puterinya itu untuk mempersilahkan masuk sang malaikat pencabut nyawa itu. Kemudian ia masuk ke rumah.
 
 Malaikat pencabut nyawa (Izrail) datang menuju tempat dimana jasad Rasulullah terbaring lemah. Rasululah bertanya mengapa Jibril tidak datang bersama dengannya. Kemudian Jibril pun dipanggil dan datang. Jibril telah siap menyambut kedatangan Rasulullah di langit. Jibril sudah siap menyambut ruh suci dari kekasih Tuhan yang pernah memimpin dunia dengan keadilan, kebenaran, dan penuh kelembutan.
 
 “Wahai Jibril. Jelaskanlah kepadaku apa hak-hak yang akan aku dapatkan dari Allah?”, Rasulullah bertanya kepada Jibril dengan nada bicara yang sangat lemah.
 
 “Pintu-pintu langit akan terbuka dan para malaikat akan berbaris rapi menyambut kedatangan ruh sucimu. Surga akan memanggil-manggilmu dan tidak sabar akan kedatanganmu”, Jibril berkata. Semua perkataan Jibril itu seolah-olah sama sekali tidak membuat Rasulullah tenang karena masih terlihat kedua mata Rasulullah menyimpan kekhawatiran yang mendalam.
 
 “Tuanku, apakah engkau tidak berbahagia dengan berita ini?”, tanya Jibril.
 “Ceritakan kepadaku nasib dari umatku nanti di masa yang akan datang!”
 “Janganlah kau khawatir, tuanku, ya Rasulullah! Aku telah mendengar Allah berfirman: Aku akan haramkan surga untuk setiap orang kecuali setelah umat Muhammad masuk kedalamnya“, Jibril mencoba menenangkan.
 
 Waktu merambat makin dekat dan makin dekat. Waktu untuk mencabut ruh suci sang Nabi makin dekat. Izrail sebentar lagi akan menunaikan tugasnya. Dengan perlahan dan hati-hati ruh suci Nabi ditarik. Tubuh Rasulullah mulai mencucurkan keringat; urat lehernya menegang.
 
 “Jibril, ternyata yang namanya sakaratul maut itu sakit sekali”, Rasulullah berkata dengan gumaman lemah. Fathimah, puteri Rasulullah menutup kedua matanya menahan kesedihan yang teramat sangat. Imam Ali (as.) duduk di dekat Fathimah mendudukan kepalanya dalam-dalam; sementara itu Jibril memalingkan mukanya tidak kuat melihat pemandangan yang sangat mengharukan itu.
 
 “Apakah aku tampak menjijikan bagimu, wahai, Jibril. Sehingga engkau memalingkan wajahmu dariku?’, Rasulullah bertanya kepada sang penyampai wahyu. “Siapakah gerangan orangnya yang sanggup dan kuat melihat kekasih Allah sedang menghadapi sakaratul maut. Oleh karena itu aku memalingkan wajahku darimu, wahai tuanku”, Jibril berkata.
 
 Tidak berapa lama berselang, Rasulullah mengeluarkan suara dari tenggorokkannya karena rasa sakit yang teramat sangat.
 
 “Ya, Allah. Betapa sakitnya sakaratul maut ini. Berikanlah rasa sakit ini kepadaku semuanya dan jangan berikan sedikitpun kepada umatku”. Tubuh Rasulullah kemudian terasa dingin; kedua kakinya dan dadanya tidak bisa lagi digerakkan. Bibir mulia beliau bergetar seolah-olah ingin mengutarakan sesuatu. Imam Ali (as.) mendekatkan telinganya ke arah mulut beliau yang suci. Rasulullah berbisik: “Ushiikum bis salati, wa maa malakat aimanuku” (jagalah shalat dan urusilah urusan orang-orang lemah yang ada di sekitarmu)”.
 
 Di luar ruangan terdengar tangisan sahut menyahut; tangisan yang satu disusul oleh tangisan yang lain–lebih keras dan lebih keras. Para sahabat Nabi saling berpegangan tangan satu sama lain seolah-olah ingin memperkuat dan menghibur hati sahabatnya yang lain.  Fathimah binti Muhammad, puteri Nabi, menutupi wajahnya yang basah dengan air mata yang bercucuran sejak tadi. Imam Ali sekali lagi mendekatkan telinganya ke dekat mulut Rasulullah yang sekarang sudah tampak membiru.
 

 “Ummati, ummati, ummati”, (Ummatku, ummatku, ummatku) (dengan kalimat itu Rasulullah berwasiat agar Ali bin Abi Thalib mengurusi urusan umat Muhammad sepeninggal beliau). Setelah mengucapkan kalimat itu, Rasulullah pun berangkat menuju kekasihnya dengan tenang. Innalillahi wa inna ilayhi roji’un.

Tidak ada komentar: