Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad),
dan ulil amri di antara kalangan kalian”.
(An
Nisa: 59)
Segala
puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Nabi dan Rasul yang paling agung Nabi Muhammad, kepada keluarganya dan
para shahabatnya seluruhnya.
Ikhwani
fillah… materi kali ini, kita akan meluruskan pemahaman yang ada di masyarakat
berkenaan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri di antara kalangan kalian”.
(An Nisa: 59)
Ayat
ini adalah ayat yang sering kita dengar dan digunakan oleh banyak orang dalam
rangka mewajibkan masyarakat untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia
ini. Oleh karena itu perlu kiranya kita meninjau kembali atau meluruskan posisi
ayat ini secara proporsional. Mari kita pahami siapa orang-orang yang beriman
dalam ayat tersebut dan kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik
Indonesia ini…
Tinjauan
ayat:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri di antara kalangan kalian”.
(An Nisa: 59)
“Hai
orang-orang yang beriman…”,
ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “…taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”,
ulil amri adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau
pemimpin yang mukmin, itu adalah pengertian sederhananya.
Jadi,
pemimpin yang harus ditaati ─tentunya selain dalam maksiat─ adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min
kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang
beriman”.
Orang
yang beriman atau orang muslim yang berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma
adalah orang yang beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut, berikut ini
adalah penjabarannya:
- Firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dalam surat Al Baqarah: 256:
“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada
Allah, maka dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa”.
Al ‘urwah al wutsqa adalah buhul tali yang amat
kokoh, yaitu Laa ilaaha illallaah, artinya barangsiapa kafir kepada thaghut dan
iman kepada Allah, maka dia itu orang yang mengamalkan Laa ilaaha illallaah,
orang yang sudah masuk Islam, karena pintu masuk Islam adalah dengan
perealisasian Laa ilaaha illallaah sebagaimana ini adalah rukun Islam yang
pertama.
Orang tidak dikatakan beriman kecuali jika dia beriman
kepada Allah dan kafir kepada thaghut. Jika orang beriman kepada Allah tapi dia
tidak kafir kepada thaghut maka ia bukan orang yang beriman, ia bukan muslim…
itu berdasarkan nash Al Qur’an. Maka dari itu Allah dalam ayat ini mendahulukan
kafir kepada thaghut (Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada
Allah) supaya tidak ada orang yang mengklaim behwa dirinya beriman kepada
Allah padahal dia belum kafir kepada thaghut pada realita yang dia kerjakan.
- Firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali Imran: 64:
“Katakanlah
(Muhammad): “Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai arbab (tuhan-tuhan)
selain Allah”. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”.
Jadi,
yang diserukan kepada ahli kitab adalah pengajakan untuk berkomitmen dengan Laa
ilaaha illallaah, ibadah kepada Allah dan meninggalkan penyekutuan terhadap
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di ujung ayat Allah menyatakan; “jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka:”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”,
maksudnya jika mereka berpaling dan tidak mau meninggalkan para arbab itu maka
saksikanlah bahwa kami ini orang muslim dan kalian bukan orang muslim.
Berdasarkan
ayat itu kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang tidak merealisasikan apa yang
dituntut oleh ayat ini, yaitu ibadah hanya kepada Allah, meninggalkan sikap
penyekutuan sesuatu dengan-Nya dan meninggalkan sikap menjadikan selain Allah
sebagai arbab, maka orang yang tidak mau meninggalkan hal itu adalah bukan
orang muslim.
- Firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dalam surat At Taubah: 5:
“Apabila
sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhilah orang-orang musyrik itu
dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan
intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk
berjalan”
Taubat
dari apa…? Taubat dari kemusyrikan dan segala kekafiran, maksudnya adalah Allah
Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk melakukan pembunuhan,
pengepungan dan pengintaian apabila orang-orang itu sudah taubat dari segala
kemusyrikan dan kekafiran, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, berarti
orang muslim itu tidak boleh diganggu. Maka orang yang tidak taubat dari
kemusyrikannya berarti dia itu bukan orang muslim.
- Firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dalam surat At Taubah: 11:
“Jika
mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudara kalian saru agama”.
Jika
mereka bertaubat (dari kemusyrikannya), maka mereka adalah saudara satu agama,
maksudnya mereka itu orang-orang muslim, karena sesame muslim adalah saudara,
sebagaimana dalam surat Al Hujurat: 10:
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara”.
Berarti
jika sebaliknya, dia tidak mau meninggalkan kesyirikannya meskipun dia shalat,
zakat, dan melakukan ibadah lainnya, maka dia bukan ikhwan fiddin (saudara satu
agama) dan berarti dia bukan orang mukmin, karena ukhuwah imaniyyah itu tidak
terlepas dengan dosa-dosa bisaa, akan tetapi dengan kesyirikan dan
kekufuran. Dan dalam surat Al Baqarah: 178 dikatakan:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa memperoleh maaf dari
saudaranya…”
Dalam
ayat ini, sang pembunuh dan keluarga yang dibunuh tetap dipersaudarakan.
Membunuh sesama muslim adalah dosa besar, tapi tidak menjadikan seseorang
keluar dari Islam selama dia tidak menghalalkannya.
Demikianlah
beberapa dalil tentang orang yang beriman dari Al Qur’an, sedangkan berikut ini
adalah beberapa dalil dari As Sunnah:
1. Dalam
hadits Bukhariy dan Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu'anhu, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Allah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
bila mereka melakukan hal itu, maka mereka terjaga darah dan hartanya dari
saya, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka adalah atas Allah”
Rasulullah
tidak berhenti memerangi manusia sampai mereka komitmen dengan Laa ilaaha
illallaah, iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut serta mengakui risalah
yang dibawa beliau kemudian membenarkannya, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat. Ini sama dengan penjelasan sebelumnya
2. Dalam
hadits Bukhariy yang dari Abu Malik Al Asyja’iy radliyallahu'anhu,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang
diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedang perhitungannya
atas Allah ta’ala”.
Seseorang
dikatakan haram darah dan hartanya, dalam arti dia itu dikatakan muslim, bila
komitmen dengan Laa ilaaha illallaah ─iman kepada Allah dan kafir
kepada thaghut─, yaitu kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka barulah dikatakan muslim mukmin.
Dan
berikut ini adalah beberapa Ijma dari para ulama Ahlus Sunnah:
¯ Syaikh Abdurrahman ibnu
Hasan rahimahullah mengatakan: “Para ulama salaf dan khalaf, dari
kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah telah ijma,
bahwa seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengan mengosongkan diri dari
syirik akbar dan berlepas diri darinya”. (Ad Durar As Saniyyah: 11/545-546).
Dalam
hal ini orang tidak dikatakan muslim bila tidak mengosongkan dirinya dari
syirik akbar, tidak berlepasdiri darinya dan dari para pelakunya. Ini adalah
ijma (kesepakatan) ulama… maka perhatikanlah.
Oleh
sebab itu, jika masih atau belum berlepas diri daripada kemusyrikan, maka dia
itu belum muslim meskipun dia melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lainnya.
Dan selagi dia belum mengosongkan diri dari kesyirikan, maka dia belum muslim
walaupun dia shalat, zakat, haji, dan yang lainnya…
¯ Syaikh Sulaiman ibnu
Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan:
“SEKEDAR mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid dan meninggalkan
syirik akbar serta kafir terhadap thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu
tidak bermanfaat berdasarkan ijma” (nukilan ijma dari kitab Taisir Al ‘Aziz Al
Hamid)
Orang
yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat, zakat, shaum dan walau haji
berkali-kali, akan tetapi jika dia tidak meninggalkan syirik akbar, tidak kafir
terhadap tahghut, maka dia itu bukan muslim dan tidaklah manfaat pengucapan Laa
ilaaha illallaah-nya.
¯ Syaikh Hamd ibnu ‘Athiq
rahimahullah mengatakan: “Ulama ijma (sepakat), bahwa orang yang
memalingkan satu macam dari dua do’a kepada selain Allah, maka dia telah
musyrik walaupun mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat dan zakat serta
mengaku muslim”. (Ibthalut Tandid Bikhtishar Syarh Kitab Tauhid, hal: 67)
Do’a
ada dua macam; yaitu do’a yang berupa permohonan yang bisaa kita
ketahui, dan do’a berupa ibadah seperti; shalat, shaum, zakat, haji,
penyandaran hukum, dan lain-lain.
Jadi,
bila seseorang memalingkan satu macam ibadah saja kepada selain Allah, maka dia
itu musyrik meskipun mengucapkan kalimat tauhid, shalat, shaum, zakat dan
mengaku sebagai seorang muslim.
¯ Syaikhul Islam Muhammad
ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan tentang para pengikut
Musailamah Al Kadzdzab dalam Syarh Sittati Mawadli Minash Shirah dalam
Mujmu’atut tauhud hal. 23: “Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam dan kembali menyembah berhala seraya mengatakan:
“Seandainya dia (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) itu adalah
Nabi, tentulah tidak akan mati”. Dan di antara mereka ada yang tetap di atas
dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah dengan
dugaan bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan dia di
dalam kenabian, ini karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang bersaksi
baginya akan hal itu, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka adalah
orang-orang murtad meskipun mereka jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan
kemurtaddan mereka, maka dia kafir”
Bila
saja orang yang tidak melakukan kesyirikan, akan tetapi mengangkat seorang
manusia bisaa sederajat dengan nabi maka ia telah divonis murtad dan
segala amal ibadahnya tidak dianggap, dan bahkan diperangi oleh Abu Bakar Ash
Shiddiq dan para shahabat lainnya… maka apa gerangan dengan orang yang
mengangkat makhluk pada derajat uluhiyyah (ketuhanan) dengan cara memberikan
satu atau beberapa macam dari sifat-sifat khusus ketuhanan…?? Maka ini lebih
syirik lagi, lebih kafir lagi dan lebih murtad lagi jika sebelumnya dia mengaku
muslim !
¯ Beliau (Muhammad ibnu Abdil
Wahhab) rahimahullah juga menukil ijma tentang pengkafiran penguasa
‘Ubaidiyyin di Mesir. Beliau berkata dalam suratnya kepada Ahmad ibnu Abdil
Karim Al Ahsaa’iy, beliau menjelaskan: “Di antara kisah yang terakhir adalah
kisah Bani ‘Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya, mereka itu mengaku sebagai
ahlul bait, mereka shalat jama’ah dan shalat jum’at, mereka juga mengangkat
para qadliy dan mufti, akan tetapi ulama ijma akan kekafiran mereka,
kemurtaddannya, keharusan untuk memeranginya, serta bahwa mereka adalah negeri
harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi benci
kepada mereka” (Tarikh Nejd: 346)
Pada
saat itu kajian ada, kesempatan belajar juga ada, shalat juga mereka lakukan
bahkan mereka (Bani ‘Ubaid) yang menjadi imamnya, akan tetapi ulama ijma bahwa
mereka itu orang-orang murtad kafir harbiy, karena mereka menampakkan
kesyirikan akbar.
Demikianlah
dalil-dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma yang mengatakan bahwa orang
tidak dikatakan sebagai orang muslim, kecuali jika dia beriman kepada Allah dan
kafir terhadap thaghut. Sedangkan thaghut yang paling besar di antara
thaghut-thaghut zaman sekarang ini adalah thaghut hukum dan perundang-undangan
berikut para pembuat hukum dan pemutus hukum yang berpedoman dengannya.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam surat An Nisa: 60:
“Tidakkah
engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu?. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu”.
Dalam
ayat tersebut tersirat keheranan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena ada
orang yang mengaku beriman kepada Al Qur’an dan mengatakan bahwa Al Qur’an
adalah kitab suci serta pedoman hidup, akan tetapi ketika ada masalah, mereka
malah merujuk kepada hukum thaghut… padahal hukum thaghut bukanlah hukum yang
Allah turunkan, sedangkan Allah sudah memerintahkan untuk kafir dan menjauhi
thaghut.
Hukum
yang dibuat oleh manusia merupakan bisikan syaitan jin, sebagaimana yang Allah
jelaskan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…” (Al An’am: 121)
dan digulirkan oleh syaitan-syaitan manusia, maka itulah thaghut
yang dimaksudkan firman Allah dalam surat An Nisa: 60. Maka segala hukum produk
manusia dengan segala bentuknya, baik yang dibuat dalam bingkai demokrasi atau
yang lainnya, maka selama itu bukan hukum yang berasal dari Allah berarti itu
adalah thaghut, karena hanya ada dua macam hukum; hukum Allah atau hukum
thaghut. Sedangkan seseorang tidak dikatakan muslim jika tidak kafir kepada
thaghut hukum ini, atau pembuatnya dari kalangan syaitan manusia atau
pembisiknya dari kalangan syaitan jin.
Jika kita sudah memahami bahwa orang muslim itu adalah orang yang
berlepas diri dari kesyirikan. Orang muslim adalah orang yang mentauhidkan
Allah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan, maka dia adalah seorang mukmin
dimana saja dan kapan saja. Sebaliknya, jika orang tidak merealisasikan hal
ini, dalam arti walaupun dia beribadah kepada Allah akan tetapi di samping
beribadah kepada Allah dia tidak kafir kepada thaghut, tapi justeru malah
membela-bela atau loyal kepada thaghut, maka dia bukan orang muslim.
Kemudian
mari kita lihat realita pemerintahan NKRI ini, apakah mereka kafir kepada
thaghut dan iman hanya kepada Allah sehingga mereka mendapat predikat mukmin,
sehinggga mereka menjadi ulil amri yang wajib ditaati sebagaimana penjelasan
surat An Nisa: 59 tadi ? atau justeru sebaliknya…
Tinjauan Realita Pemerintah NKRI Bila Dipandang Dari Sisi
Tauhid Hukum
- Mereka Menjadi Thaghut
Kenapa
demikian ?, ini karena mereka dengan dewan legislatifnya dan sebagian
eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat hukum, mengklaim yang berhak membuat
hukum dan perundang-undangan, bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka
mereka adalah thaghut itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya
diikuti (baca: diibadati) oleh ansharnya.
1.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah
engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu”.
(An Nisa: 60)
Banyak
masyarakat atau anshar thaghut atau siapa saja di antara mereka, ketika
memiliki kasus di negeri ini, apakah mereka mengajukan kasusnya kepada hukum
Allah ataukan kepada hukum selaim hukum Allah ? tentu mereka mengajukannya
kepada hukum selain hukum Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi
di gedung Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif
maupun para pemutusnya di dewan yudikatif.
Mereka
adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil
Wahhab rahimahullah dalan Risalah Fie Ma’na Thaghut, bahwa pentolan
thaghut yang kedua adalah “Penguasa Dzalim Yang Merubah Ketentuan Allah”.
Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah… mulai dari hukum pidana,
perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka sepakat tidak
memakai hukum yang Allah turunkan. Sedangakan sesorang tidak bisa
dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada thaghut. Dan dalam hal
ini mereka sendiri adalah thaghutnya.
2. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka
diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah
(Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan”. (QS.
At Taubah: 31)
Dalam ayat
ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan
para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada
selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa
ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib
itu telah memposisikan dirinya sebagi rab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan,
bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian
masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi,
maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat
atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya
dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah
mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami
tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul
mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa
yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka
telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”.
Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah
bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para
rahib)
Ketika
mereka menyandarkan hak hukum dan pembuatan hukum (tasyri’) kepada selain
Allah, maka yang mengaku memiliki hak membuat hukum ini disebut arbab, yaitu
yang memposisikan dirinya sebagai tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu
digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah. Orang yang sepakat
di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada hukum yang mereka
gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai orang musyrik yang menyembah
atau mengibadati atau mempertuhankan mereka serta telah melanggar Laa ilaaha
illallaah.
3. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Maka sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu
Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan
tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun
dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu
'anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya
?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”,
kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing yang kalian sembelih
dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang
disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia dengan pisau dari emas kalian
katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini
adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu
adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu
membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu)
untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah
itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan mentaati mereka,
menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski hanya dalam satu
hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya “Maka
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.
Dalam
ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa:
1. Hukum
yang bukan dari-Nya adalah wahyu syaitan.
2. Para
penggulirnya (yang mengklaim dirinya berhak membuat hukum) dari kalangan
manusia disebut wali-wali syaitan.
3. Yang
menyetujuinya atau yang taat atau yang merujuk kepadanya disebut musyrikun.
Bila
satu hukum saja dipalingkan dalam hak pembuatannya kepada selain Allah, maka
berdasarkan ayat tadi, bahwa orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali
syaitan (tahghut) yang telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaitan,
sedangkan orang yang mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut
adalah divonis sebagai orang musyrik.
Sedangkan
yang ada di NKRI ─dan negara-negara lainnya─ adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau
seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah bukan
dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari syaitan jin,
baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang mewariskan KUHP)
ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di kursi parlemen, yang
membuat, yang merancang, yang menggodok, atau apapun namanya dan siapapun yang
membuat hukum, maka pada hakikatnya mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum
yang mereka gulirkan hakikatnya adalah hukum syaitan.
Perhatikanlah…
jika saja orang-orang yang SEKEDAR mentaati mereka maka Allah memvonisnya
sebagai orang musyrik, maka apa gerangan dengan pembuatnya atau orang yang
memutuskan dengannya atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya
dengan menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)…?!!
4. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah
mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?”. (Asy Syura: 21)
Dalam
ayat tersebut, siapa saja yang membuat syari’at atau hukum atau undang-undang
atau ajaran yang tidak diizinkan oleh Allah dinamakan syuraka (sekutu-sekutu),
karena mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan
hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah, mereka
merancang, menggodok, dan menggulirkan di tengah masyarakat. Sedangkan
orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut orang yang menyembah
syuraka tersebut.
- Mereka berhukum dengan
selain hukum Allah atau memutuskan dengan hukum thaghut
Mereka
berhukum dengan hukum thaghut, karena selain hukum Allah yang ada hanyalah
hukum jahiliyyah atau hukum thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dalam surat Al Maidah: 44:
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah
orang-orang kafir”.
Dan
firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”
Dalam
ayat-ayat di atas, orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan
adalah orang-orang kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan
dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut.
Maka merekapun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah
mevonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zalim dan fasiq dalam
surat Al Maidah: 45 & 47.
Syaikh
Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie
Makna Thaghut, tentang Ruusuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ketiga
yaitu: Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan.
Jadi
pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar
thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah
tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin
Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mukmin, sedangkan
mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka
mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir !.
- Mereka merujuk kepada
hukum thaghut, baik thaghut lokal, regional maupun internasional
Disaat
menghadapi masalah, masalah apa saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya
kepada hukum Allah, tapi kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti
Undang Undang Dasar atau undang-undang atau yang lainnya), atau hukum-hukum
regional, atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB.
Sungguh… mereka tidak merujuk kepada Al Qur’an atau As Sunnah, akan tetapi
merujuk kepada selainnya. Sedangkan dalam surat An Nisa: 60 tadi; Allah merasa
heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab
Allah sebelumnya, orang-orang yang ketika punya masalah justeru ingin berhakim
(mengadukan urusan) kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar
ingin berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya, imannya dianggap
sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan orang-orang yang
benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum thaghut…?!
Pemerintah
ini, ketika masuk PBB diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan
yang digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif,
eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia untuk
menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka ! inilah bai’at mereka. Apakah
di Negara ini ada bai’at untuk taat setia kepada Al Qur’an dan As Sunnah ?
tentu jawabannya tidak ada ! maka dari itu setelah bai’at kepada Undang Undang
Dasar selesai, mereka selalu mengacu kepadanya, jika seorang Presiden misalnya
menyimpang, maka DPR/MPR akan memprotesnya dan mengatakan: “Presiden telah melanggar
Undang Undang Dasar atau undang-undang atau… atau…” dan tidak akan mengatakan
“Presiden telah melanggar Al Qur’an ayat sekian…” Andaikata seluruh isi Al
Qur’an dilanggarpun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal tidak
melanggar “hukum suci” mereka, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan undang-undang
turunannya.
Imam
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus
adalah kafir, beliau menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam
(baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia
malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia
kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan
dia mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir dengan ijma kaum
muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)
Ilyasa
adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan raja Tartar. Kitab ini
merupakan kumpulan yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil
orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah ditembah dengan hasil buah
fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau
Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk
kepada kitab hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka demikian
pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan
lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang
Belanda dengan KUHPnya), dan ada juga dari Islam seperti masalah pernikahan.
Jadi
ternyata serupa, maka siapa saja yang merujuk pada Yasiq modern ini, maka iapun
kafir dengan ijma kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah
dilakukan oleh pemerintah NKRI ini…!!
- Mereka menganut sistem
Demokrasi
Demokrasi
berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini
merupakan penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan
yangada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang didik di
parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum.
Demokrasi
merupakan salah satu bentuk perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri’
(pembuatan, penetapan dan pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah
hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah
Allah, hak khusus yang seharusnya disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah.
Akan tetapi demokrasi merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Hak
memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar
kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dian yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”.
(Yusuf: 40)
firman-Nya
“Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”, bermakna:
Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah,
karena Allah-lah yang berhak untuk membuatnya, untuk menentukannya. Dan dalam
ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut ibadah. Sedangkan dalam
demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, maka
demokrasi adalah sistem syirik, karena memalingkan ibadah penyandaran hukum
kepada selain Allah.
Demokrasi
adalah sistem syirik yang membangun pilar-pilarnya di atas sekularisme, di atas
kebebasan; bebas meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran
sekalipun. Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah,
tapi harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang
berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia.
- Mereka memiliki
Idiologi/falsafah/asas/pedoman/petunjuk hidup/nafas bangsa, yaitu
Pancasila.
Pancasila
adalah dien, karena dien adalah jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup,
falsafah atau silahkan orang menyebutnya apa saja… tapi yang jelas Pansacila
adalah dien. Ini singkat saja kita tinjau.
Dalam
Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa
yang dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya
masing-masing yang beraneka ragam. Maka cukuplah falsafah ini menjadi sesuatu yang
rancu bagi orang yang berakal.
- Tawalliy (loyalitas penuh)
kepada kaum musyrikin
Mereka
loyal kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, tunduk kepada undang-undang
internasional dan peraturan lainnya yang adala dlam tubuh PBB. Apapun yang
ditetapkannya maka otomatis diikuti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang
kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam
surat Al Maidah: 51:
“Siapa
saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia
termasuk golongan mereka”
- Mereka memperolok-olok
ajaran Allah
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan
pemerintahan Negara ini justeru memberikan izin bagi beroperasinya
tempat-tempat kemungkaran dengan dalih tempat hiburan), membiarkan
berkembangnya media-media penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan
kebejatan (dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi) dan
lain-lain. Itu adalah beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan
memperolok-olok ajaran Allah adalah kekafiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu
kafir sesudah beriman”.
(At Taubah: 65-66).
Intinya,
jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap
negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan
Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara dzalim, negara fasiq
dan negara jahiliyyah berdasarkan firman-firman Allah tersebut. Begitu juga
pemerintahnya, karena tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada pemerintah
pelaksananya.
Setelah
memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR ketika orang
memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam ini dengan
menggunakan dalil surat An Nisa: 59, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah
“dari kalangan kalian” yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman,
sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN
orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah adalah thaghut,
orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang murtad. Jadi, jelaslah tidak
sesuai dengan pemerintah ini.
Akan
tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah:
- Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka
berhenti”. (At
Taubah: 12)
Jadi
yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas, akan tetapi yang
ada adalah sikap qital (perang).
- Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Maka
bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian.
Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (At Taubah: 5)
Jika
mereka bertaubat, maksudnya bertaubat dari kemusyrikannya, dari kethaghutannya,
dari kekafirannya, mereka mendirikan shalat dan memuanikan zakat, maka berilah
mereka jalan dan jangan diganggu. Sedangkan jika pemerintahan ini tidak
bertaubat dari kethaghutannya, dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari
kekufuran lainnya, maka mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat ini.
- Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Orang-orang
yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di
jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (An Nisa: 76)
Orang-orang
yang beriman berperang di jalan Allah dalam rangka mengokohkan hukum Allah,
menjunjung tinggi ajaran-Nya, sedangkan orang-orang kafir ─yang di antaranya adalah pemerintahan NKRI ini dan
ansharnya─ mereka berjuang, berperang,
berkiprah dengan segala cara dalam rangka mengokohkan sistem thaghut. Jadi,
mereka berperang di jalan thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap kaum
muslimin ? Allah menyatakan “sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu”.
Perhatikanlah…
mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah wali-wali syaitan yang Allah
perintahkan untuk memeranginya.
- Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Dan perangilah mereka itu, sampai tidakada fitnah, dan
dien (ketundukan) hanya bagi Allah semata” (Al Baqarah: 193)
Dan
perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, tidak ada lagi idiologi syirik,
tidak ada lagi kekafiran, tidak ada lagi penghalang kepada jalan Allah, tidak
ada lagi penindasan terhadap kaum muslimin yang taat kepada Allah… bukan taat
kepada Pancasila atau Undang Undang Dasar atau demokrasi, tapi hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Selama
Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al qital (perang) belum
berhenti, selama fitnah (bencana) terhadap kaum muslimin yang taat dan
berkomitmen dengan ajaran Allah masih dikejar-kejar atau dipersempit hidupnya,
masih ditangkapi, dipenjarakan dan masih dibunuhi… maka berarti masih ada
fitnah !! Selama kemusyrikan didoktrinkan maka fitnah masih ada. Selama fitnah
masih ada maka al qital tidak akan berhenti.
- Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu;
dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah
(Allah tenhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan)”. Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya dien itu semata-mata untuk Allah”. (Al Anfal: 38-39)
Jadi,
al qital tidak akan berhenti terhadap para penguasa yang menentang aturan
Allah, yang menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan penindasan terhadap kaum
muslimin, merampas dan memeras harta kaum muslimin, baik dengan cara kasar
maupun halus, maka qital tidak akan berhenti terhadap pemerintah yang seperti
ini.
“Hai
orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu
itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (At Taubah: 123)
Perangilah
orang-orang yang ada disekitar kamu, yang ada didekat kamu dan dalam realitanya
bukan hanya dekat, akan tapi mereka telah menguasai harta, diri, dan tanah air
kita. Merekalah thaghut penguasa negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu.
Mereka telah sekian lama memerangi, menindas diri dan merampas harta kaum
muslimin. Mereka mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan ajaran Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Merekalah
orang-rang kafir yang dekat, maka tidak usah jauh-jauh pergi berperang untuk
mencari orang kafir, ini yang dekat justeru sudah memusuhi dan memerangi
semenjak dahulu. Bahkan para ulama sepakat bahwa memerangi penguasa murtad
adalah lebih harus didahulukan memeranginya daripada orang-orang kafir asli,
apalagi orang-orang kafir yang jauh…
- Hadits Ubada ibnu Shamit
(HR. Bukhari dam Muslim)
“Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami, maka kami membai’atnya, maka di
antara yang beliau ambil janjinya atas kami adalah kami membai’at(nya) untuk
senantiasa mendengar dan taat, disaat senang dan disaat benci, diwaktu sulit
dan waktu mudah kami, serta saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami
tidak merampas urusan dari yang berhak (penguasa) kecuali kalian melihat
kekafiran yang nyata dengan bukti dari Allah yang ada pada kalian”
Sedangkan
kita sudah banyak melihat bentuk-bentuk kekafiran yang dianut dan masih
senantiasa dilakukan penguasa negeri ini, sehingga tidak layak berdalil dengan
surat An Nisa: 59 untuk menggelari pemerintah ini sebagai ulil amri, akan
tetapi yang tepat adalah ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan
hadits ini.
Para
ulama sepakat bahwa orang kafir tidak sah untuk menjadi pemimpin bagi kaum
muslimin. Bila pemimpin tersebut asalnya muslim kemudian muncul kekafiran
darinya maka wajib untuk mencopotnya dan menggantinya dengan pemimpin yang
muslim. Bila tidak mampu mencopotnya karena mereka menggunakan kekuasaan untuk
mempertahankannya, maka wajib diperangi.
Namun
dalam relaita zaman ini, kekafirannya bukanlah kekafiran yang bersifat
personal, akan tetapi kekafiran yang kolektif dan tersistemkan, sehingga jika
penguasa yang satu mati maka sistemnya belum mati dan orang-orang yang
setelahnya akan menggantikan dia, karena sistem kafirnya tidak mati dan tetap
mengakar.
Tugas
kita adalah wajib menggalang kekuatan dengan langkah awalnya adalah mengerahkan
segala kemampuan dalam menggencarkan dakwah tauhid yang berkesinambungan untuk
mencabut akar-akar loyalitas terhadap thaghut di tengah masyarakat, sehingga
thaghut tidak mempunyai tempat lagi di tengah-tengah masyarakat ini.
Jihad
terhadap thaghut ini haruslah menjadi opini kaum muslimin, kaum muslimin harus
merasa memiliki tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya
dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan berarti seluruh kaum
muslimin harus terjun dengan menenteng senjata, tapi yang paling penting bagi
mereka adalah mereka adalah mereka harus memahami betul bahwa penguasa negeri
yang mana mereka hidup di dalamnya adalah penguasa murtad kafir yang tidak
boleh diberikan loyalitas, sehingga dengan kesadaran itu lunturlah dukungan
kepada para thaghut dan tumbuhlah loyalitas kepada orang-orang yang berkomitmen
dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila
ini terwujud, maka kondisi akan berubah, dukungan kepada thaghut akan berganti
dengan penentangan, sehingga mudahlah untuk menjatuhkan para thaghut itu.
BERSABARLAH…!!!
Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu saja, tahap awal yang
patut dilakukan adalah memberikan bayan (penjelasan) atau penyampaian risalah
tauhid, karena perlu penyadaran terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa
negeri ini dikatakan sebagai penguasa kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu” (Al Baqarah: 191)
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mengusir orang-orang kafir
sebagaimana mereka pernah mengusir kaum muslimin. Rasulullah diperintahkan
untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka telah mengusir Rasul shalallahu
‘alaihi wa sallam.
Perhatikan…
para thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang komitmen dengan ajaran
Islam dari jajaran masyarakat dengan cara menanamkan image negatif tentang
mereka, memprovokasi, memfitnah dan membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh
orang-orang yang bertauhid sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami Islam
secara utuh, orang yang dangkal pikiran atau orang yang haus dunia dan
kekuasaan, maka menjadi wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk mencopot para
thaghut ini dari benak masyarakat dengan cara menyebarkan ilmu syar’iy,
khususnya tentang tauhid dan kewajiban memerangi penguasa semacam itu.
Begitu
pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah menjauhkan
orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari
harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit hidup mereka, maka
wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit terhadap ajaran-Nya untuk
menjauhkan thaghut dari harta yang mereka miliki, karena sebagian besar harta
yang jatuh ke tangan thaghut digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka
untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan orang-orang Quraiys agar dilanda
paceklik, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi
menindas kaum muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk
mendukung hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau
menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali dalam
kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al Maidah: 2)
dan
firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Janganlah
kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh itu” (An Nisa: 5)
Perhatikanlah…
jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang menyerahkan harta kaum muslimin
kepada orang-orang yang tidak bisa menggunakan dengan benar, sedangkan bentuk
kebodohan yang paling dasyat adalah orang-orang yang tidak suka dengan ajaran
tauhid, salah satunya yaitu para thaghut. Allah menyatakan:
“Dan tidak ada yang benci kepada Milah Ibrahim, kecuali
orang yang memperbodoh dirinya sendiri” (Al Baqarah: 130)
Jadi,
seharusnya harta yang diambil dari kaum muslimin, mereka pergunakan di jalan
Allah, bukan di jalan thaghut yang digunakan untuk memerangi Allah dan kaum
muslimin.
Hendaklah
diketahui bahwa pemerintahan thaghut ini adalah pemerintahan yang tidak sah,
tidak syar’iy, tidak diakui secara Islam. Mereka adalah pemerintah yang
memaksakan diri, begitu pula hukum dan undang-undangnya tidak sah, oleh sebab
itu kaum muslimin tidak memiliki kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang
dibuat oleh pemerintah thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya selama
memenuhi dua syarat, yaitu: selama tidak melakukan sesuatu yang dilarang
syari’at dan selama tidak menzalimi orang muslim.
Demikianlah
sikap kita kaum muslim terhadap para thaghut penguasa negeri ini, bukan
loyalitas dan taat kepada mereka, tapi ingatkah bahwa kita adalah orang-orang
yang ditindas, diperangi dengan berbagai cara; kasar dan halus, terang-terangan
dan sembunyi-sembunyi, tapi… sungguh banyak kaum muslimin tidak menyadarinya.
Ini karena kebanyakan kaum muslimin belum memahami hakikat Laa ilaaha
illallaah. Mereka mengira penguasa negeri ini adalah muslim, karena para
thaghutnya itu shalat, shaum, zakat, bahkan haji berkali-kali, padahal penguasa
negeri ini telah melanggar hal yang paling penting dan fundamental, yaitu
syahadat Laa ilaaha illallaah…
Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan
para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillahirabbil’alamiin…